Penelehhistory.com: Surabaya (23/10/24) – Sepasang suami istri dari Belanda, Max Meijer dan Petra Timmer, berbagi pandangan tentang Gedung Singa Algemeene di Lodji Besar Peneleh Surabaya pada Kamis malam (23/10/24). Acara ini diselenggarakan oleh Begandring Soerabaia, yang selama ini secara rutin mengadakan acara diskusi terkait kesejarahan Surabaya.
Petra Timmer dan Max Meijer adalah pasangan peneliti profesional di bidang heritage. Mereka mengelola lembaga konsultasi heritage, yang bernama TiMe Amsterdam. Selama ini TiMe Amsterdam berkolaborasi dengan Begandring Soerabaia dalam upaya bersama merevitalisasi Makam Eropa Peneleh dalam program, yang bernama Peneleh as a Living Library 2024.
Petra Timmer dalam diskusi malam itu (23/10/24) berbagi pandangannya tentang Gedung Singa “New Perspective on Berlage,’s”. Petra dan Tim Berlage di Nusantara (BdN) selama beberapa tahun belakangan memang melakukan Riset tentang Gedung Singa, yang menjadi bangunan monumental di awal Abad 19. Bangunan itu sangat mencolok dan berbeda dari umumnya bangunan pada masa itu, yang tidak hanya di Surabaya tetapi juga di seluruh Indonesia (dh Hindia Belanda).
Dalam berbagi pandangan itu, Petra membagi presentasinya dalam 3 bagian. Pertama, mengenai desain dan gaya. Kedua, tentang Sejarah pembangunan gedung dan ketiga, tentang pendapat hadirin mengenai presentasi yang Petra telah sajikan sebagai bagian dari risetnya tentang Gedung Singa.
“I am not giving a lecture but sharing about my ongoing research on Gedung Singa” kata Petra ketika memulai paparannya.
Apa yang Petra sajikan pada bagian pertama paparannya adalah hiasan atau ornamen pada puncak fasade termasuk dormer pada atap gedung dan Arsitektur gedung pada umumnya.
“This part is the one that I didn’t see before. I found it just two months ago and it surprised me” jelas Petra tentang gaya dalam penyelesaian dari bagian atas gedung (mahkota).
Apa yang Petra dapatkan adalah bahwa pada bagian atas gedung (mahkota) itu seperti pada kusen kusen dormer dan lisplang terdapat hiasan hiasan seperti umumnya rumah rumah adat di Tanah Toraja. Selain hiasan dengan cat yang berwarna warni, juga pada bentuk kusennya, sebagaimana model arsitektur Jawa. Ada perpaduan local genius Nusantara.
Gedung Singa sendiri juga hasil perpaduan arsitek dan dua seniman. Arsiteknya adalah Berlage. Sementara senimannya adalah Mendes Da Costa dan Jan Toorop.
Dalam paparannya Petra mengajak hadirin memperhatikan fisik gedung yang merupakan hasil kolaborasi tiga ahli. Desain gedung dibuat Berlage. Sepasang Patung Singa dibuat pematung Mendes Da Costa. Hiasan mozaik keramik dibuat oleh Jaan Toorop.
Menurut Petra ada yang menarik dan itu menjadi salah satu fokus dalam risetnya. Yaitu pada bagian eksterior gedung dimana terdapat tata susun Patung Singa pada bagian bawah (kaki gedung) karya Mendes Da Costa, artis asing. Lalu pada bagian badan gedung dengan mozaik keramik lukis karya artis berdarah campuran Jawa Belanda. Lalu pada bagian mahkota bangunan (atas) adalah bercorak lokal, yang berlambang campuran Toraja dan Jawa.
“On the top part you see the local genius”, terang Petra.
Konsep tata ruang eksterior fasad dari kaki ke mahkota ini sekilas menggambarkan pesan simbol Tiga Teras Berundak, yang umumnya menjadi filosofi Hindu Jawa. Konsep tiga berundak ini umum ditemukan pada tata ruang Situs percandian di Gunung Penanggungan, komplek pemakaman para wali dan tata ruang yang masih diterapkan di tradisi Bali.
Konsep tiga berundak ini seperti bentuk Meru Tiga Berundak, yang terdapat pada bentuk atap Masjid Ampel Dan Demak. Konsep Tiga Berundak ini adalah nJaba (Luar), Tengah (tengah) dan nJero (dalam). Bagian nJero atau paling atas adalah bagian penting karena dianggap sebagai pelinggih dimana moyang itu berada.
Selain itu, Gedung ini secara fisik dibuat simetris, yang menggambarkan keseimbangan. Keseimbangan dalam arsitektur adalah prinsip utama dalam komposisi yang berarti perhatian visual dari dua bagian pada dua sisi pusat keseimbangan adalah sama.
Sementara makna filosofi keseimbangan bagi penghuni gedung adalah pentingnya menjaga keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kehidupan pribadi, kerja, dan hubungan antara manusia dan hubungan antara manusia dengan Tuhan, agar dapat tercapai hidup sehat, harmoni dan bahagia.
Petra juga menyampaikan perspektifnya tentang makna karya seniman yang bekerja bersama Berlage. Menurutnya, hiasan keramik karya Jaan Toorop menggambarkan perlindungan Sosial pada masyarakat baik terhadap nasabah bangsa Eropa maupun bangsa Jawa. Kemudian sepasang patung Singa karya Mendes Da Costa menggambarkan perlindungan kepada siapa saja yang beraktivitas di dalam gedung.
Dalam konsep tata ruang eksterior ini, Berlage selain memberi makna Keseimbangan juga ada makna filosofi Tiga Teras atau Meru Berundak (Jaba Tengah Dan Jero)
Pada bagian kedua dari presentasi itu, Petra mengungkap data dan fakta mengenai proses pembangunan gedung. Data yang diperoleh Petra adalah daftar para pekerja gedung, yang ternyata menggunakan tenaga kerja lokal mulai dari kuli, tukang kayu, tukang bangunan hingga mandor bangunan. Tenaga supervisi masih dipegang orang orang Belanda untuk memastikan hasil bangunan sesuai dengan perencanaan yang dibuat Berlage sebagai arsiteknya.
Gedung ini dibangun pada 1901. Sementara Berlage sendiri tidak berada di Surabaya pada saat pembangunan gedung. Berlage baru datang ke Hindia Belanda dan Surabaya pada 1923. Namun laporan laporan tentang progress pembangunan termasuk foto foto bangunan dikirim ke Belanda secara berkala dan rutin sehingga Berlage bisa memantau kegiatan pembangunan gedung.
Setelah pembangunan gedung Singa selesai, hasilnya memang wah, modern dan sangat berbeda dari bangunan di sekelilingnya yang masih bercorak kuno. Gedung Singa menjadi satu satunya gedung modern baik dalam desain arsitekturnya yang bermain pada kurva kurva fasade dengan batu bata ekspose dan aplikasi pewarnaan yang terdiri dari warna merah, hijau, kuning dan ungu.
“Anyone who passed in front of the building were attracted to look at the building”, tambah Petra.
Max Meijer, a museologist, menyarankan untuk pemanfaatan gedung gedung yang umumnya dikatakan gedung kolonial.
“They are colonial buildings but it was in the past. Now they belong to you, the locals and Indonesians, then make use of them for economic , educational and research purposes. Remember, the workers were locals and the building materials were from local sources”, jelas Max yang ikut menambahkan perspektifnya terhadap Gedung Singa.
Pada bagian akhir presentasi Petra ini, ia membuka sesi pertanyaan dan komentar sebagai feedback penelitian yang masih berlangsung. Petra dan Tim Berlage di Nusantara (BdN) selama ini sudah memproduksi buku yang berjudul Berlage di Nusantara untuk memperingati 100 tahun Kehadiran Berlage di Nusantara. Buku ini telah diluncurkan di Kota Amsterdam pada bulan Juni 2024 dan pada Oktober di Jakarta 2024. Buku ini ditulis bersama oleh Tim gabungan Dari Belanda Dan Indonesia. (nng)