Penelehhistory.com: Surabaya (7/6/24) – Euforia revitalisasi Kota Lama (Eropa) Surabaya belum tuntas dan semakin seksi saja. Aktivitasnya menjadi perhatian dan pembicaraan publik, mulai dari konsepnya hingga pelaksanaan revitalisasi. Ini masih belum pada konsep, mau dibawa kemana revitalisasi Kota Lama Surabaya ini ke depan.
Kiranya publik perlu tau sehingga mereka bisa ikut berperan untuk mengisi ruang ruang di Kota Lama Surabaya melalui kreativitasnya, baik secara fisik maupun non fisik.
Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, dalam berbagai kesempatan sering mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan kota Surabaya bukan semata mata karena Walikotanya. Tapi juga karena peran masyarakatnya.
Masyarakat bisa berperan aktif jika mereka tau apa yang harus mereka kerjakan. Mereka bisa mengerjakan dan berperan jika mereka teredukasi tentang apa itu Kota Lama (Eropa) Surabaya. Jangan sampai mereka terus menjadi penonton mulai dari proses revitalisasi hingga pasca revitalisasi.
Jangan juga sampai terjadi penilaian dari masyarakat atas proses revitalisasi yang dianggap kurang pas dan bahkan menyalahi aturan perundang undangan. Maklum, masyarakat ada yang profesional di bidang kecagar budayawan. Bahkan ada orang biasa dan awam, yang justru paham aturan.
“Kami di sini, berdagang, tidak boleh merusak bangunan Cagar budaya. Kami patuhi itu. Tapi justru revitalisasi ini malah nguruk sebagian bangunan Cagar budaya”, kata salah satu penjual tanaman hias, yang berdagang di bekas halte di jalan Jembatan Merah.
Masih di jalan Jembatan Merah, petugas Satgas BPBD mengecat bangunan Gedung Singa dengan warna putih. Padahal ada bidang bidang yang berwarna merah. Bangunan ini sangat langka. Didesain oleh Bapak Arsitek Modern kelas dunia, HP Berlage. Karya satu satunya di Surabaya, dua di Indonesia, ini sedang mendapat perhatian dari arsitek dunia di Eropa. Karyanya membuka mata arsitek dunia. Karya di Surabaya ini menjadi bagian dari hidup Berlage.
Untuk menghargai itu, sekumpulan arsitek Eropa memperingati 100 tahun kedatangan Berlage di Hindia Belanda termasuk ke Surabaya pada 1923. Berlage, berdasarkan sebuah sumber koran yang terbit pada masa itu, pernah memberi kuliah di gedung Balai Kota Surabaya kepada arsitek arsitek muda termasuk Citroen, ketika sedang merancang Jembatan Gubeng. Citroen adalah arsitek pemerintah Kota Surabaya.
HP Berlage dan karya karyanya baik di Indonesia maupun di Belanda, sangat monumental. Pembangunan Gedung Singa di Surabaya pada 1901 bersamaan dengan pembangunan Gedung Beurs van Berlage di Amsterdam.
Saking pentingnya Gedung Singa dalam dunia arsitektur dunia, kumpulan pemerhati dan aktivis Berlage memperingati kehadiran Berlage ke Surabaya (Indonesia) dengan menerbitkan sebuah buku tentang 100 tahun kehadiran Berlage ke Hindia Belanda.
Singkat cerita, Gedung Singa dalam proses revitalisasi ini dicat putih, termasuk pada struktur batu bata ekspose pada bagian bangunan yang terbuat dari materi granit dan teraso. Gedung Singa ketika dibangun pada 1901 sudah menunjukkan karya modern. Yaitu karya abad 20. Sementara lainnya masih hasil karya abad 19. Jelas sekali bedanya.
Masyarakat, khususnya para arsitek dan penggiat Cagar budaya, paham itu. Mereka menyayangkan praktek revitalisasi yang memperlakukan Gedung Singa kurang pada mestinya.
Apakah praktek revitalisasi Kota Lama di Jalan Jembatan Merah Surabaya sudah memberitahukan kepada Tim Ahli Cagar Budaya untuk arahan teknis dalam perbaikan Bangunan Cagar Budaya?
Info terkini lainnya tentang ahli waris, yang akan memperbaiki makam keluarga atau kerabat di Makam Eropa Peneleh saja, harus mendapat rekomendasi dari TACB Kota Surabaya.
Kabar terkini, juga datang Tim Berlage di Nusantara di Amsterdam, Belanda bahwa buku tentang Berlage yang berjudul “Mijn Indische Reis” dalam peringatan 100 tahun Berlage ke Hindia Belanda dan Surabaya segera diluncurkan di Amsterdam pada Juni 2024. (nan)